Menguak Curiga Ahok dan Dugaan Modus Bos Parpol Makan Subsidi LPG 3 Kg

Pengamat energi menduga bos partai politik yang diduga Komut Pertamina Ahok makan subsidi LPG 3 kg tidak bekerja sendirian, tapi ada yang membantu. (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi).

JAKARTA -- Masalah soal penyaluran LPG subsidi 3 kilogram (kg) kembali mengemuka. Kali ini masalah terkait dugaan kebocoran penyaluran yang membuat subsidi LPG 3 kg tidak tepat sasaran dan diselewengkan.

Kebocoran itu diungkapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif. Saat ini katanya 1,5 juta ton LPG 3 kg bocor dari jalur distribusi resmi hingga tingkat pengecer.

Ia mengungkapkan angka kebocoran 1,5 juta itu didapat dari hasil survei terbaru yang dilakukan pemerintah.

Arifin mengatakan situasi itu makin membuat belanja subsidi pemerintah terbebani. Terlebih, tren data konsumsi tabung gas subsidi tersebut naik.

Di satu sisi, konsumsi LPG komersial yang tidak mendapat subsidi justru turun.

"Mestinya ekonomi naik, (konsumsi gas komersial) ikut naik, artinya ada 1,5 juta ton LPG (subsidi 3 kg) yang keluar dari jalur distribusi sampai ke pengecer, itu bocor," ucap Arifin di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Jumat (13/10).

Ia mengungkap bahwa LPG 3 kg sedianya diperuntukkan untuk 60 juta rumah tangga kurang mampu. Arifin mengklaim LPG 3 kg disalurkan 245 ribu penyalur.

Mantan duta besar Indonesia untuk Jepang itu juga menegaskan bahwa barang subsidi tidak boleh diperdagangkan bebas. Oleh karena itu, pemerintah akan membenahi masalah tersebut.

Meski demikian, Arifin tak menjelaskan lebih rinci soal tindakan apa yang akan ia ambil untuk membenahi penyaluran LPG 3 kg tersebut.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan saat ini pihaknya tengah mendigitalisasikan sistem penyaluran LPG subsidi. Dengan begitu, segala transaksinya akan tercatat.

Ia pun berharap dengan langkah tersebut, penyaluran LPG 3 kg bisa tetap sasaran

"Sekarang sedang dilakukan proses digitalisasi sehingga penyalurannya tercatat dan sesuai dengan target penerimanya," ucap Dadan kepada CNNIndonesia.com, Senin (16/10) malam.

Pernyataan kebocoran 1,5 juta ton LPG subsidi dari Arifin tadi dilontarkan tak lama setelah Komisaris PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menyebut ada petinggi partai politik (parpol) yang bermain dan ikut makan subsidi LPG 3 kg.

Ahok menilai keterlibatan bos parpol itu membuat terjadinya masalah, termasuk soal harga LPG 3 kg yang melambung.

"Kami buka-bukaan saja, disinyalir orang berkuasa dari partai politik banyak yang pegang agen, kalau mau jadi orang kaya jangan makan uang subsidi rakyat, dagang yang lain saja," katanya di Bukittinggi, Sumatera Barat, Selasa (10/10), seperti dikutip dari Antara.

Ahok berjanji bakal mengatasi masalah itu dan siap membantu daerah mana saja yang mau menolong warganya mendapatkan barang subsidi.

Ia juga mengatakan Pertamina telah menemukan banyak agen nakal. Pertamina katanya, langsung bertindak cepat dan tegas dengan langsung memutus kerja sama dengan agen tersebut.

Namun, Ahok belum puas dengan hasil itu. Karenanya, ia meminta pemerintah daerah (pemda) membantu Pertamina untuk menertibkan ulah agen nakal tersebut.

"Bagi warga, jangan mau antre lagi untuk harga Rp30 ribu. Orang Pertamina harus takut sama pemda, jangan takut dengan agen nakal. Kita minta walikota membantu Pertamina juga untuk mengecek mana warga yang layak menerima," kata dia.

Terkait kebocoran distribusi 1,5 juta ton LPG 3 kg yang disampaikan Arifin di atas, rasanya publik tak perlu kaget lagi. Setidaknya, itulah yang dikatakan Pengamat Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi.

Maklum, sistem distribusi gas subsidi itu selama ini dilakukan secara terbuka. Artinya, subsidi disalurkan terhadap barang.

Dengan model penyaluran seperti ini, siapapun bisa menikmatinya, termasuk orang yang sejatinya tak berhak.

"Sehingga dengan sistem terbuka itu, yang pertama pasti salah sasaran. jadi orang bebas membeli LPG 3 kg, tidak peduli dia miskin atau tidak," ucap Fahmy.

Selain itu, ia juga mengatakan skema subsidi terbuka juga rawan penyelewengan. Fahmy mencontohkan ada pihak yang membeli LPG melon kemudian mengoplosnya menjadi kemasan 12 kg atau LPG non subsidi.

Dengan begitu, pihak tersebut mendapat keuntungan yang besar. Terlebih, disparitas harga antara LPG 3 kg dan non subsidi cukup jauh.

Berdasarkan data Pertamina, harga jual LPG 12 kg non subsidi rumah tangga di tingkat agen adalah Rp204 ribu. Dengan kata lain, harga gas tersebut dipatok Rp17 ribu per kg.

Sementara, harga jual eceran LPG 3 kg dari pangkalan resmi Pertamina kepada agen penyalur berada di level Rp4.250 per kg atau Rp12.750 per tabung.

Penetapan harga ini diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Liquified Petroleum Gas Tabung 3 Kg. Serta, Peraturan Menteri ESDM Nomor 28 Tahun 2008 tentang Harga Jual Eceran LPG Tabung 3 Kilogram.

Ia pun mengatakan kebocoran 1,5 juta ton LPG 3 kg itu merugikan negara triliunan rupiah.

"Kalau dalam jumlah unit besar tadi, itu (kerugiannya) triliunan rupiah dan itu beban APBN karena subsidi dari APBN. Semakin besar salah sasaran, semakin besar penyelewengan, maka beban APBN makin bengkak, itu merugikan negara," kata Fahmy.

Adapun jika mengacu pada harga gas non subsidi senilai Rp17 ribu per kg tadi, maka kebocoran 1,5 juta ton gas subsidi adalah sebesar Rp25,5 triliun.

Subsidi LPG 3 kg sendiri mengambil porsi terbesar jika dibandingkan dengan subsidi BBM dan listrik tahun ini. Sesuai APBN 2023, alokasi anggaran subsidi LPG 3 kg mencapai Rp117,85 triliun.

Lebih lanjut, Fahmy menilai indikasi Ahok soal keterlibatan peninggi parpol dalam distribusi LPG 3 kg cukup masuk akal dan kuat. Menurutnya, hal itu mungkin saja dilakukan mengingat tidak ada aturan yang melarang pihak tertentu menjadi agen atau distributor LPG 3 kg.

Meski begitu, ia mencium petinggi parpol tersebut tidak bekerja sendiri. Mereka disinyalir juga bekerja sama dengan orang dalam Pertamina.

Kecurigaan Fahmy ini bukan tanpa alasan. Ia menduga petinggi parpol itu mengambil LPG 3 kg dengan jumlah besar. Makanya distribusi terganggu dan harga gas itu tinggi di daerah-daerah tertentu.

"Saya yakin itu (LPG 3 kg) tidak dibeli di pasar, dia (petinggi parpol) pasti ada kerja sama dengan orang dalam, sehingga bisa memperoleh LPG 3 kg dalam jumlah besar," tutur Fahmy.

Dengan keadaan seperti saat ini, Fahmy mengingatkan pemerintah untuk mengubah skema penyaluran subsidi LPG 3 kg dari terbuka menjadi tertutup. Dengan begitu, nantinya masyarakat atau orang yang tergolong mampu tidak bisa membeli gas melon tersebut.

Namun, kata Fahmy, pemerintah tidak perlu repot meminta masyarakat yang ingin membeli untuk menunjukkan KTP. Pasalnya, hal itu tidak akurat membuktikan bahwa dia berhak atau tidak.

Fahmy menyarankan pemerintah bisa menggunakan data masyarakat kurang mampu dari Kementerian Sosial (Kemensos) atau lembaga pemerintah lainnya.

"Nah gunakan data itu untuk menyalurkan LPG 3 kg dengan harga subsidi pada yang berhak," ucap Fahmy.

Setali tiga uang, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan kebocoran distribusi LPG subsidi tak lepas dari skemanya itu sendiri.

Ia berpendapat skema subsidi terbuka kerap menjadi biang kerok penyalahgunaan LPG 3 kg.

"Kebocoran itu karena sistem distribusi. Dari sejak awal, sistem distribusi LPG 3 kg terbuka dan rencana pemerintah mengubah jadi tertutup tidak pernah tercapai," kata Fabby.

Pemerintah memang beberapa kali mewacanakan mengubah skema distribusi LPG 3 kg menjadi tertutup. Kementerian ESDM sempat menegaskan pembelian LPG 3 kg wajib menggunakan KTP per 1 Januari. Nyatanya, hingga saat ini hal itu tak pernah terjadi.

Terkait isu keterlibatan petinggi parpol dalam distribusi LPG 3 kg, Fabby mengatakan hal itu tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Sebab, tidak ada larangan terkait praktik tersebut.

"Sebenarnya tidak salah jadi agen, walaupun politisi, karena tidak ada larangan. Jadi masalah kalau yang bersangkutan memakai statusnya sebagai tokoh parpol atau anggota DPR untuk mendapatkan kemudahan dan kuota penyaluran LPG 3 kg," kata Febby.

Ia pun meminta pemerintah untuk segera mengubah skema subsidi menjadi tertutup. Hal ini demi mencegah penyelewengan sumber daya energi tersebut.

Berbeda dari Fahmy, Fabby tetap menyarankan pemerintah agar pembeli LPG 3 kg membawa KTP.

"Lakukan (subsidi) secara tertutup. Dilakukan oleh agen terdaftar resmi dan yang boleh membeli harus pakai KTP dan masuk dalam rumah tangga miskin yang ada di basis data terpadu kemiskinan di Kemensos," ucap Fabby.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga berpendapat masalah kebocoran distribusi ini memang menjadi masalah yang berlarut-larut dan sangat terlihat bahwa pemerintah tidak mau secara serius menyelesaikannya.

Ketidakseriusan pemerintah terlihat dari tidak adanya perangkat hukum yang mengatur dengan jelas siapakah yang benar-benar berhak untuk membeli LPG 3 kg bersubsidi.

No comments

Powered by Blogger.