Dinkes Ungkap Penyebab Keracunan Massal Olahan Daging Kurban Surabaya
Peristiwa keracunan massal di Surabaya akibat mengonsumsi olahan daging kurban. (ANTARA FOTO/DIDIK SUHARTONO)
JAKARTA -- Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya mengungkap hasil pemeriksaan laboratorium terhadap sampel masakan daging kurban penyebab keracunan massal 71 warga Kalilom Indah Seruni 2, Tanah Kalikedinding, Kenjeran.
Hasil pemeriksaan yang dilakukan BBLK (Balai Besar Laboratorium Kesehatan) Surabaya itu menyebutkan masakan daging kurban yang dimakan warga terpapar bakteri salmonella.
"Daging yang dimasak untuk sate, gulai daging dan krengsengan mengandung bakteri Salmonella sp. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh daging yang diolah kurang dicuci bersih dan dimasak kurang matang," kata Nanik kepada awak media, Kamis (6/7) malam.
Nanik mengatakan hal itu ditemukan setelah BBLK melakukan pemeriksaan mikrobiologi dengan menggunakan metode biakan konvensional terhadap sejumlah sampel makanan itu. Nanik menjelaskan Salmonella merupakan kelompok bakteri pemicu diare dan infeksi di saluran usus manusia, serta sering menyebabkan keracunan makanan.
Bakteri ini dapat hidup di saluran usus hewan dan ditularkan ke manusia melalui makanan yang terkontaminasi kotoran hewan. Selain itu, konsumsi makanan yang kurang matang dan tidak dicuci juga dapat meningkatkan risiko terkontaminasi.
"Masa inkubasi bakteri Salmonella sp adalah 6 hingga 72 jam. Hal ini sejalan dengan hasil penyelidikan epidemiologi oleh Tim Dinkes Kota Surabaya bahwa sebagian besar kasus mengalami gejala awal pada jam ke 9 hingga 10 jam setelah menyantap hidangan yang disajikan," katanya.
Gejala yang ditimbulkan pada kasus keracunan ini, imbuh Nanik, yakni Diare sebanyak 20,80 persen, demam sebanyak 17,20 persen, pusing sebanyak 17,20 persen, mual sebanyak 16,00 persen, lemas sebanyak 15,20 persen, dan muntah sebanyak 13,20 persen.
"Gejala-gejala tersebut merupakan beberapa gejala yang mengindikasikan seseorang terinfeksi bakteri Salmonella sp," katanya.
Kejadian ini, kata Nanik, bisa dicegah bila bahan pangan yang berasal dari olahan makanan dari hewan kurban diproses secara higienis.
Daging mempunyai kandungan protein dan mudah membusuk sehingga harus segera didistribusikan dan tidak lebih dari 2 jam, serta diolah atau disimpan di kulkas untuk mempertahankan kualitasnya. Namun bila masih akan disimpan, daging tidak perlu dicuci.
"Daging kambing lebih mudah rusak dibandingkan dengan daging sapi. Kambing dengan kandungan protein lebih tinggi bisa bertahan kurang dari 6 jam dalam suhu ruangan, sehingga jika lebih dari 6-10 jam maka daging cenderung sudah rusak. Sehingga daging sapi dan kambing tidak boleh dicampur," ujarnya.
Dia mengatakan masyarakat harus memastikan sebelumnya bahwa semua bahan pangan yang akan dikonsumsi telah dicuci bersih, higienis dan diolah dengan baik dan benar-benar matang. Seperti dimasak pada suhu lebih dari 70 derajat celcius.
"Selanjutnya memastikan peralatan masak yang digunakan bersih dan tidak berkarat. Serta, menjaga kebersihan makanan yang akan dikonsumsi, mencuci tangan sebelum makan, dan jangan menyantap makanan yang sudah berbau tidak sedap, berlendir, atau berjamur," ucap dia.
Nanik mengimbau masyarakat untuk menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dalam berkegiatan sehari-hari secara disiplin dan konsisten.
"Tentunya untuk mencegah risiko penularan penyakit baik dari lingkungan maupun dari bahan pangan yang dikonsumsi," pungkasnya.
Sementara itu, berdasarkan data Dinkes Surabaya per Rabu (5/7), sudah tidak ada warga Kalilom Indah Seruni 2, Tanah Kalikedinding, Kenjeran yang mendapatkan perawatan di Puskesmas maupun di rumah sakit.(CNN indonesia)
No comments